Sikap ‘Malu-Malu Kucing’ Pemerintah

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 11.18 | , , | 0 komentar »

Ketika kondisi perekonomian internasional terguncang krisis, hal yang lazim dilakukan tiap negara adalah proteksionisme. Setiap negara akan berusaha melindungi perekonomian dalam negerinya dengan membangkitkan kekuatan ekonomi nasional tanpa tekanan impor. Salah satu alasan yang mendorong langkah proteksi adalah mempertahankan lapangan kerja bagi penduduk lokal untuk mencegah pengangguran.

Suara proteksionisme kini tengah keras didengungkan tiap negara setelah AS mengeluarkan kebijakan “buy American” sebagai satu upaya mengatasi ambruknya perekonomiannya. Langkah penggunaan produk lokal yang disertai hambatan produk impor ditengarai disebabkan oleh gencarnya serbuan produk dari China, Jepang dan lainnya yang membuat kondisi ekonomi AS kian terpuruk. Langkah ini menuai kecaman karena berimbas pada negara lain yang menggantungkan tujuan ekspornya pada AS.

Parahnya, negara-negara lain pun berupaya meniru langkah proteksi AS untuk menyelamatkan perekonomian dalam negerinya. Kondisi ini dapat memperparah resesi global yang terjadi sekarang jika negara lain tidak dapat menjual produknya ke luar negeri. Babak baru Great Depression terancam terjadi karena pada tahun 1930-an, negara-negara menutup pasar mereka dan Great Depression semakin dalam.

Indonesia pun akhirnya terlibat dalam upaya yang menjurus pada proteksionisme. Kebijakan pemerintah yang melegalkan impor hanya masuk dari pelabuhan tertentu, guna mencegah impor ilegal, adalah upaya yang temasuk melindungi produk dalam negeri. Alasannya, karena maraknya “serangan”produk impor Cina yang sebagian besar ternyata produk illegal.

Walaupun demikian, Indonesia tidak berani mengatakan secara jelas bahwa telah melakukan proteksionisme. Ada ketakutan dari pemerintah bahwa jika Indonesia melakukan proteksi maka barang-barang ekspor Indonesia tidak akan diterima oleh negara lain. Ini merupakan dampak dari globalisasi sekarang, perdagangan harus saling terbuka dan menguntungkan tiap negara.

Sebagai ‘anak emas’ IMF, Indonesia masih bersikap malu-malu kucing pada kondisi seperti ini. Padahal jika sadar, Indonesia merupakan sasaran empuk bagi produk-produk Amerika, Jepang dan China karena memiliki jumlah penduduk yang besar. Apakah tidak ironis, jika kedai kopi Starbucks yang baru saja 61 dari total 84 gerainya di Australia akibat krisis global, malah di Indonesia semakin meningkat jumlah gerainya. Hal ini disebabkan Indonesia sudah terlalu sangat terbuka dengan produk-produk asing

Seharusnya, dengan upaya proteksi dalam negeri maka kesempatan produsen dalam negeri menjadi raja di rumah sendiri menjadi lebih besar. Jika perlindungan atas produk impor memang kuat, secara otomatis kesejahteraan rakyat akan meningkat karena produk dalam negeri dikonsumsi oleh masyarakatnya sendiri yang membuat para produsen pun bisa memacu produktivitasnya. Seharusnya pemerintah tidak perlu malu terhadap kemampuan produk dalam negeri.

*) Artikel dimuat di koran Sindo 25 Februari 2009