Manajemen Lembaga Pengelola Zakat

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 05.43 | , | 2 komentar »

Pendahuluan 

Zakat merupakan salah satu rukun Islam, tepatnya rukun ke 5, yang pastinya menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk menjalankannya. Allah SWT melalui agama-Nya, yaitu dienul Islam, telah memerintahkan kepada kita agar melaksanakan kewajiban membayar zakat, sekaligus juga memerintahkan untuk mengelola zakat itu secara baik. 

Zakat memiliki dimensi yang sangat luas bagi manusia. Zakat tidak saja memiliki dimensi ketuhanan (habluminallah) tetapi zakat memiliki dimensi kemanusiaan (habluminannaas) yang sangat kuat. Zakat membuktikan bahwa hubungan kemanusiaan, yaitu: saling tolong-menolong antar sesama manusia, dibangun di atas nilai- nilai fondasi ketuhanan. Zakat menjadi bukti bahwa Islam bukan lah agama yang melupakan kehidupan dunia semata, melainkan kehidupan dunia dan akhirat sama-sama menjadi tujuannya. Bagi Islam, zakat adalah tool pembangun umat manusia.

Dalam pembahasan zakat, biasanya diikatkan juga dengan infak dan shadaqah sehingga timbul istilah zakat, infaq dan shadaqah (ZIS). Tuntunan agar setiap umat Islam berzakat, infaq dan shadaqah telah banyak difirmankan oleh Allah dalam Al Quran. Ada beberapa ayat Alqur’an yang berisi perintah dan anjuran untuk berzakat, infaq dan shadaqah, yaitu: Surat Al Baqarah 245, 261-263, 271, dan 274, Al Hadiid 11 dan 18, Al Muzammiil 20, Ali Imran 134, Saba’ 39, dan At-Taghabun 16-17.

Tidak hanya itu, umat Islam juga diperintahkan Allah untuk mengelola Zakat, Infaq dan Shadaqah. Pengelolaan ZIS wajib dilakukan agar dalam penarikan dan pendistribusiannya tepat sasaran dan sesuai dengan aqidah Islam. Adapun perintah untuk mengelola ZIS ini sejalan seperti apa yang difirmankan Allah dalam Surat At-Taubah 103 yang artinya “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat iru kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesunguhnya doamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“

Potensi Zakat di Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Penduduk Indonesia saat ini sekitar 230 juta orang. Persentase penduduk yang memeluk Islam adalah kurang lebih 85% dari total penduduk Indonesia. Jadi, jumlah penduduk muslim di Indonesia sekitar hampir 200 juta orang. Dengan jumlah penduduk muslim sebesar itu, tentu sangat berpeluang sekali kebermanfaatan zakat, infak dan shadaqah dalam upaya pembangunan bangsa secara umum dan upaya peningkatan kesejahteraan umat Islam secara khusus. Apalagi dengan naiknya pendapatan perkapita yang pada tahun 2008 telah mencapai $2400. Tentu potensi zakat sangatlah besar bagi bangsa Indonesia.

Melihat keadaan penduduk Indonesia yang demikian, zakat bisa menumbuhkan asa dan harapan yang besar bagi kelancaran pembangunan. Diperkirakan potensi zakat Indonesia tahun 2008 sebesar Rp 19 Triliun. Subhanallah! Angka itu pun belum termasuk dengan infaq, shadaqah dan wakaf. Jika digabung bahkan bisa mencapai angka fantastis sebesar ratusan triliunan rupiah. Potensi yang sangat besar ini jika termanfaatkan secara benar tentu akan bisa melepaskan bangsa ini dari jerat utang pembangunan yang malah memiskinkan rakyat. Jumlah zakat, infak, shadaqah dan wakaf yang terkumpul bahkan berpotensi menjadi sumber utama pembangunan bangsa setelah pajak.

Namun, pada realitas sekarang, jumlah zakat yang terkumpul secara nasional masih kurang dari 2,5 persen alias hanya sebesar Rp 900 miliar rupiah per tahun (Antara, 2/3/2009). Kenyataan ini berarti menunjukkan bahwa potensi zakat masihlah belum tergarap dengan maksimal. Namun, ini juga bisa berarti bahwa rendahnya nilai zakat adalah juga karena masih rendahnya kesadaran para muzakki (wajib mengeluakan zakat) menunaikan rukun zakat ini, terutama lewat lembaga pengelola zakat.

Seiring dengan berjalannya waktu, potensi zakat untuk menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia dan penyejahteraan umat Islam masih sangat terbuka luas. Upaya penanaman kesadaran muzaki untuk berzakat di lembaga pengelola zakat harus terus intensif digalakkan. Di sisi lain lembaga pengelolaan zakat yang menampung dan mendistribusikan zakat juga harus diupayakan keberadaan dan fungsinya secara menyeluruh. Peran pendukung majunya pengelola zakat juga wajib menjadi pemikiran dan upaya bersama, baik itu dari pemerintah, ulama, lembaga zakat itu sendiri, masyarakat dan juga pihak-pihak lain yang terkait seperti IAI.

Namun, untuk memaksimalkan potensi zakat di Indonesia, tidak hanya didasarkan pada pengertian istilah zakat semata. Zakat dalam Al-Quran memiliki dua pengertian. Zakat sebagai kata kerja diartikan membersihkan hati atau jiwa. Di lain pihak, zakat juga berarti tumbuh dan menumbuhkan, yang bisa diartikan sebaai menumbuhkan kemanusiaan. Jadi, dengan zakat, martabat seseorang yang rendah atau merosot karena kemiskinan dapat dinaikkan.

Yang terkait dengan potensi zakat untuk didayagunakan untuk kesejahteraan umat adalah pengertian yang kedua, yaitu sebagai penumbuh rasa kemanusiaan yang berkorelasi pada tool untuk menghilangkan kemiskinan. Namun, apakah pengertian itu secara otomatis akan menghilangkan kemiskinan? Bagaimana bisa terjadi? Jika seseorang itu miskin, lalu diberi zakat, sadaqah ataupun infaq, apa lantas ia akan terentas dengan sendirinya dari belenggu kemiskinan? Pertanyaan itu bisa mengarahkan bahwa sesungguhnya dalam pengentasan kemiskinan melalui zakat itu perlu penjelasan rasional, yaitu tidak semata-mata bersifat dogmatis bahwa zakat dalam perspektif agama langsung mengentaskan kemiskinan.

Upaya kajian dan pemikiran strategis untuk memunculkan langkah revolusioner terhadap pengentasan kemiskinan melalui zakat harus selalu digalakkan. Salah satu langkah strategis itu adalah dengan menggiatkan adanya lembaga pengelola zakat yang dikelola dengan cara yang bagus. Dalam lembaga pengelola zakat itu perlu ada manajemen yang baik dan sistematis sehingga memungkinkan tercapainya hakikat dari zakat itu sebagai pemberantas kemiskinan. Singkatnya, untuk mencerabut akar-akar kemiskinan demi lancarnya pembangunan bangsa, harus dicapai dengan lembaga pengelola zakat yang memiliki manajemen yang handal.

Badan/ Lembaga Pengelolaan Zakat di Indonesia

Di Indonesia, terdapat dua bentuk kelembagaan pengelola zakat yang diakui oleh Pemerintah, yaitu: Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil zakat (lAZ). Kedua-duanya telah berada dalam payung hukum pemerintah, yaitu: UU no. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Keputusan Menteri Agama RI no 381 tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.

Dengan adanya payung hukum itu, maka keberadaan lembaga zakat sudah mendapat jaminan dan perlindungan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sekarang sudah banyak didirikan lembaga-lembaga Amil Zakat oleh organisasi-organisasi agama dan sosial-kemasyarakatan. Lembaga-lembaga itu seperti: LAZIS NU, Dompet Dhuafa Republika dan masih banyak lagi. Ini merupakan sebuah kondisi yang sangat bagus demi menciptakan pertumbuhan zakat sebagai alat pemberdayaan umat.

Namun, untuk mengelola zakat tentu tidaklah semudah hanya dengan mengumpulkan zakat, menyimpan lalu menyalurkan zakat-zakat dari para muzakki kepada para mustahik (penerima zakat). Cara seperti demikian merupakan cara yang terlalu sederhana, dan biasa sehingga kurang dapat mencapai apa yang menjadi hakikat zakat sebagai pembangun rasa kemanusiaan.

Oleh karena itu zakat perlu dikelola dengan mekanisme manajemen yang tersusun secara sistematis dan rapi. Organisasi/ lembaga penyalur zakat perlu manajemen yang bagus layaknya suatu badan usaha yang bergerak dalam bisnis. Namun, tetap saja berbeda konteksnya bagi organisasi penyalur zakat karena organisasi ini tidak berhak untuk bergerak dalam usaha yang menangguk profit. Dengan demikian, sistem manajerial dalam lembaga penyalur zakat beda dengan badan usaha pada umumnya. Sistem manajemen itu dapat dilihat secara umum lewat struktur organisasi pengelola zakat, yaitu:


 

Gambar Struktur Organisasi Pengelola Zakat

Dengan mencermati struktur tersebut, ini berarti lembaga pengelola zakat sudah seperti layaknya badan usaha yang memiliki struktur organisasi yang rapi. Lembaga pengelola zakat jika benar-benar menjalankan sistematika tersebut maka lembaga zakat adalah lembaga yang mengarah pada profesionalisme kerja. Profesionalisme itu sangatlah bagus sebagai sarana untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk menaruh zakatnya di lembaga-lembaga zakat ini. Zakat yang dapat dihimpun dari masyarakat pun kemudian akan bisa terkelola dan tersalurkan secara lebih tepat sasaran dalam upaya penciptaan kemaslahatan umat.

Penutup

Lembaga/Organisasi Pengelola Zakat sudah selayaknya berbenah diri menyesuaikan perkembangan zaman. Pengelolaan zakat harus dilakukan dengan mekanisme manajemen yang sistematis. Ini sangat penting agar zakat-zakat dari masyarakat tidak sertamerta hanya disalurkan kepada masyarakat lain yang membutuhkan, akan tetapi perlu dikelola dan diimplementasikan menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat Islam, misalkan sebagai modal kerja usaha dan pembangunan infrastruktur yang bisa termanfaatkan oleh banyak orang.

Pembentukan manajemen organisasi yang terstruktur juga akan mampu mendayagunakan potensi-potensi zakat yang belum tergali secara optimal dalam pemanfaatannya untuk pembangunan. Manajemen yang sistematis ini akan mengarahkan pada profesionalisme pada organisasi pengelola zakat. Akibatnya, masyarakat pun tidak akan ragu menyalurkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat ini.

Jika masyarakat sudah percaya pada lembaga pengelolaan zakat, maka diharapkan akan terjadi masifikasi aktivitas berzakat pada semua rakyat Indonesia. Potensi zakat yang mencapai triliunan rupiah ini pun akan terwadahi dalam lembaga pengelolaan zakat yang menjunjung tinggi profesionalitas. Pembangunan di Indonesia pun akan dapat semakin maju dan giat dengan adanya keintesifan masyarakat untuk berzakat lewat lembaga pengelola zakat. Zakat untuk pembangunan umat adalah sebuah urgensi yang harus segera dimanfaatkan.

Intelektualitas dan Budaya Literer

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 05.36 | , | 0 komentar »

Secara awam, mahasiswa selalu identik dengan sematan kelompok yang memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi. Ini tidak salah karena kesempatan untuk memperoleh intelektualitas itu memang paling lapang dimiliki oleh para mahasiswa. 

Kaum mahasiswa lah yang memiliki akses terluas untuk bercengkerama dengan hal-hal yang ilmiah. Dari aktivitas pembelajarannya di perguruan tinggi, mereka lah yang paling bisa mendapatkan ilmu-ilmu yang terbangun atas teori dan asumsi. Kesempatan berinteraksi dengan akademisi dan pakar turut pula memperkokoh jiwa intelek mahasiswa. Ini lah yang menjadi alasan mengapa seseorang harus bangga ketika berhasil menyandang status mahasiswa karena terbukanya akses atas ilmu pengetahuan.

Tentunya sebuah kebanggaan tidak begitu saja ada tanpa adanya kewajiban yang menyertainya. Kebanggaan pasti berkorelasi pada tanggung jawab. Relasi yang dekat antara ilmu ini dengan tanggung jawabnya menelurkan sematan baru pada mahasiswa, yaitu sebagai agen perubahan. Tentu yang dimaksudkan sebagai perubahan ini adalah menjurus ke arah kemajuan bangsa yang beradab. Mahasiswa harus menanggung tanggung jawab yang besar atas kemajuan bangsanya karena di dadanya tersematkan sebutan agent of change, agen perubahan. Mahasiswa harus senantiasa mampu membawa bangsa ini lebih baik, lebih maju dan lebih bermartabat.

Pemahaman untuk menjadi kaum intelektual dan agen perubahan tentunya tidak datang langsung sekejap saja. Perlu proses dan pengalaman yang panjang. Sosok intelektual perlu diasah dengan pembelajaran terus menerus tanpa henti untuk pelakunya, yaitu dalam hal ini mahasiswa. Namun, apakah setiap mahasiswa sudah mengetahui secara pasti bagaimana cara membentuk sifat intelek itu.

Sayangnya, untuk mendapatkan nutrisi intelektualitas ini, para mahasiswa belum paham betul pada pintu masuk utamanya. Tidak semua mahasiswa mafhum bahwa budaya literer sejatinya adalah inti untuk membentuk intelektualitas-nya. Padahal, budaya literer ini secara sederhana adalah kebiasaan seseorang atau masyarakat dalam bidang baca dan tulis. Bagi mahasiswa yang merupakan agen perubahan, budaya literer tentu adalah kawan akrabnya, sahabat sejatinya. Intelektualitas dan wawasan luas pasti berkorelasi positif. Oleh karena itu pembelajaran mahasiswa dengan berakar pada literasi mutlak dilakukan.

 Budaya literer mahasiswa secara umum mencakup tiga poin utama yaitu, budaya untuk membaca, berdiskusi dan menulis. Tiga poin ini harusnya berjalan dengan beriringan dan kait mengait agar pembelajaran mahasiswa dapat dilaksanakan secara komprehensif, tidak terpisah-pisah atau parsial.

Untuk menggambarkan alur budaya literer ini mungkin bisa dijelaskan pada pemahaman masing-masing poinnya. Pertama, budaya literer dibangun berlandasakan budaya membaca. Tentunya, seorang mahasiswa agar bisa mengetahui suatu masalah adalah bermula dari membaca. Budaya membaca pada mahasiswa dan masyarakat Indonesia memang belumlah seintensif negara maju. Padahal, fasilitas insfrastruktur baca yang disediakan kampus dan pemerintah sudah lumayan banyak. Oleh karena itu, perlu gerakan masif untuk menggalakkan kesadaran budaya baca ini.

Berikutnya adalah budaya diskusi. Diskusi memang adalah budaya lisan, tetapi keberadaan diskusi ini mau tidak mau akan mendorong kita untuk membaca buku lebih banyak demi menunjang materi dan pengetahuan atas diskusi itu. Akhirnya budaya baca mahasiswa pun bisa terangkat jikalau budaya diskusi mahasiswa menjamur di kampus.

Poin terakhir adalah budaya menulis. Jujur saja, inilah yang paling memprihatinkan dari mahasiswa Indonesia dan mungkin juga di FEB UGM ini. Hasrat mahasiswa menuliskan ide pikiran selain berhamba untuk tugas masihlah rendah. Padahal, kemajuan peradaban suatu bangsa dapat tercapai karena masyarakatnya gemar untuk menggoreskan buah pikirannya dalam bentuk tulisan. Pikiran yang terekam dalam tulisan akan abadi sepanjang zaman. Nah, mahasiswa sebagai agen perubahan tentu harus menjadi inisiator tradisi menulis ini.

Harapannya, melihat dunia dewasa ini yang semakin kompetitif, tentu dibutuhkan upaya untuk memenangi persaingan global ini. Syarat utama agar suatu negara bisa menang adalah kemampuan masyarakatnya untuk berliterasi diperkuat. Pun juga dengan mahasiswanya. Sebagai agen perubahan yang intelek, sudah sepantasnya budaya literer ini secara masif dibudayakan oleh mahasiswa. Demi indonesia yang lebih beradab, kaum mahasiswa harus lapar membaca, gencar berdiskusi dan gemar menulis.

Abdi Rakyat yang Abai

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 18.03 | , , | 0 komentar »

Sosok pemimpin bangsa yang ideal adalah pemimpin yang selalu mengedepankan kepentingan rakyat dalam pengabdian hidupnya, di atas kepentingan lainnya. Tak peduli dirinya sedang dirundung berbagai urusan, rakyat tetaplah harus dinomorsatukan. Terlebih negeri ini adalah negeri demokrasi. Dari rakyatlah mereka berasal, tentu juga untuk rakyat lah mereka mengabdi. Harusnya bagi para pemimpin negeri ini, berfokus untuk mengurusi kepentingan 230 juta penduduknya adalah sebuah keniscayaan yang mutlak.

Dan sekarang, masa kampanye untuk Pilpres pun telah dimulai per 2 Juni kemarin. Masa ini pun tepat untuk dijadikan sebagai ujian final pemimpin kita untuk membuktikan siapa saja yang lolos sebagai abdi rakyat selama ini.

Melihat realita, tercatat dua orang pemimpin petahana negeri ini, yaitu SBY dan Jusuf Kalla masing-masing maju ke kancah pemilihan Presiden. Kemudian pencalonan ini menghasilkan multiplier effect berupa masuknya menteri-menteri dalam tim sukses mereka. Tercatat ada 12 menteri yang ikut sebagai tim kampanye nasional Pilpres. Mencengangkan, dari 34 menteri kabinet Indonesia bersatu, ternyata sepertiganya harus ‘dipinjam’ untuk mensukseskan capres jagoan parpolnya.

Dapat dibayangkan, jika pemimpin-pemimpin itu sedang asyik melaksanakan kampanyenya, mereka pasti dengan senang hati menanggalkan sejenak jabatannya sebagai pengabdi rakyat. Mereka beralih fungsi menjadi pengabdi partai atau capres. Mereka lebih berkomitmen pada kepentingan yang berlandaskan pada ‘permainan’ parpol ini. Komitmen dasar untuk selalu memperjuangkan kepentingan rakyat saat mereka dulu terpilih menjadi pemimpin pun kini harus termarjinalkan.

Belum terlampau jauh memasuki masa kampanye, sudah ada bukti yang mempertanyakan pengabdian kepada rakyat. Kasus ‘pelecehan’ atas kedaulatan batas negara oleh Malaysia yang terjadi berulangkali tidak digubris para pemimpin secara bijak dan cekatan. Belum lagi kasus Manohara yang merendahkan martabat bangsa ini oleh Malaysia juga, dibiarkan sebagai angin lalu saja. Lantas, di manakah tindakan dari pemimpin negeri ini? Mungkin mereka terlampau khusyuk dalam menyiapkan amunisi untuk Pilpres besok.

Menurut hemat penulis, kondisi seperti ini adalah cerminan buruk para pemimpin negeri ini yang dengan mudah lupa ingatan pada kepentingan rakyat. Para pemimpin masih bertradisi harus pekewuh menjunjung tinggi kepentingan partai atau capresnya. Kepentingan pribadi atau partainya telah diletakkan di atas mengalahkan kepentingan rakyat.

Pun, harus diakui saat ini ada juga kecenderungan pemimpin berupaya untuk melanggengkan atau meneruskan kekuasaan yang telah ia nikmati. Oleh karena itu, wajar jika sekarang banyaknya menteri yang ‘jagongan’ menjadi tim kampanye adalah bagian dari pelanggengan seperti itu. Ini secara langsung memperlihatkan ihwal buruk dari pemimpin-pemimpin kita untuk menduduki jabatannya.

Sedari dulu, mereka ternyata hanya berorientasi pada jabatan yang menggiurkan, bukan sebagai bentuk pengabdian kepada rakyat. Masa akhir jabatan tidak ditorehkan dengan upaya keras mewujudkan cita-cita yag belum tercapai, tetapi malah dengan membaktikan jabatannya untuk nafsu pribadi atau kelompoknya. Pemimpin pengabdi rakyat pun masih sebagai fatamorgana bagi negeri ini.

Segera Tuntaskan Sengketa Batas Ambalat

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 05.29 | , | 0 komentar »

Tak bisa dimungkiri, beberapa waktu lalu, kasus Ambalat berhasil memerahkan telinga rakyat Indonesia. Banyak pihak yang gemas atas perilaku provokatif Malaysia yang berulang kali dan seenaknya saja melanggar masuk ke wilayah kedaulatan Indonesia tanpa izin. Bahkan, sempat ada yang terpancing dengan mengeluarkan wacana bahwa pelanggaran itu harus ditindak tegas melalui serangan militer ke kapal penyusup itu. Mungkin, cara itu perlu dilakukan untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kemampuan yang tak bisa diremehkan oleh Malaysia.

Namun, sebelum terjadi masalah yang lebih serius dan frontal mengarah pada benturan fisik, akhirnya kedua negara sepakat untuk mendinginkan suasana dengan berkomunikasi damai secara intensif melalui pejabat militer dua negara tersebut, Setidaknya, ‘pertengkaran’ antara dua saudara ini pun dalam satu hal dapat terselesaikan untuk sementara. Walaupun, pada hal-hal lain masih terdapat banyak masalah yang rentan menganggu hubungan antar kedua negara ini

Penyelesaian damai dengan komunikasi yang diinisiasi oleh pejabat dua negara itu memang sungguh baik. Namun, penyelesaian seperti itu hanyalah sebuah upaya insidental yang meredakan api gejolak untuk sesaat saja. Bahkan, bisa dikatakan seolah hanya berguna untuk menunda masalah supaya saat ini tidak menjadi besar.

Berkaca pada pengalaman historis, komunikasi seperti itu tidak lah akan tahan lama jika tidak dibarengi dengan kesepakatan yang lebih lanjut atas kasus ini. Di masa depan, kasus pelanggaran dan sengketa perbatasan dengan Malaysia akan terjadi lagi jika kita tidak segera menuntaskannya

Jika ditilik dari pokok masalahnya, kasus Ambalat bisa terjadi karena adanya penafsiran yang berbeda terkait batas kedaulatan masing-masing negara di Blok Ambalat. Penafsiran yang berbeda ini menjadikan kapal-kapal tentara diraja Malaysia menganggap bahwa mereka masih di wilayahnya. Walaupun demikian, secara hukum internasional, wilayah itu adalah sahih milik Indonesia. Sejatinya, tidak adanya kesepahaman yang padu atas landasan hukum batas negara masing-masing itu menjadikan konflik seperti ini seringkali terjadi.

Oleh karena itu, dilihat urgensi kasus ini, maka pembicaraan terkait upaya abadi penyelesaian kasus Ambalat harus segera dilakukan. Pemerintah tidak harus menunggu terpilihnya presiden periode 2009-2014 untuk menuntaskan masalah ini. Mulai dari sekarang digagas adalah upaya yang lebih baik. Bukankah kedaulatan sebuah negara adalah harga mati yang harus segera diperjuangkan. Sebagai bangsa yang berdaulat tentu kita tidak akan rela bagian wilayahnya direbut oleh pihak asing, meskipun hanya sejengkal tanah.

Pemerintah RI harus segera melakukan pembicaraan serius terkait perbatasan khususnya Blok Ambalat dengan Pemerintah Malaysia. Dalam membahas pembicaraan itu juga harus diperkuat bukti yang memastikan wilayah itu sahih milik NKRI. Ini tentu untuk menghindari terulangnya kasus Sipadan-Ligitan yang ‘terpaksa’ masuk ke wilayah Malaysia. Kita harus serius mempertahankan keutuhan NKRI ini karena hilangnya salah satu wilayah kita berarti adalah hilangnya harga diri bangsa ini. Pemerintah, serius dan segeralah menjadikan Ambalat sebagai wilayah abadi NKRI!