Optimis Perekonomian Tetap Kuat

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 02.27 | , , | 1 komentar »

Pasca ledakan Bom Mega Kuningan, Jumat (17/7) pagi lalu, sektor yang diperkirakan paling terkena dampaknya adalah sektor ekonomi. Dampak utamanya adalah estimasi penurunan investasi dan kunjungan turis asing dalam beberapa bulan ke depan. Berdasarkan kejadian aksi pemboman terdahulu di Indonesia, investasi dan pariwisata adalah dua hal ekonomi yang paling terpukul atas tindakan terorisme.

Dalam penciptaan ekonomi yang kondusif dimana investasi dan pariwisata nyaman masuk di dalamnya, faktor stabilitas keamanan mutlak disediakan suatu negara. Jaminan keamanan dari pemerintah dan masyarakatnya akan menjadikan para investor dan turis asing merasa aman beraktivitas. Bagi investor, mereka tak akan ragu menanamkan dananya di Indonesia karena risiko atas keamanan investasinya bisa diminimalisir sekecil mungkin. Pun, juga bagi wisatawan asing, mereka akan senang hati berkunjung ke Indonesia untuk menikmati indahnya alam dan budayanya ketika keselamatan jiwanya terjamin.

Indikasi investasi asing terkena dampaknya pun telah ada, yaitu pembatalan beberapa kontrak investasi asing di Indonesia beberapa waktu sesaat setelah ledakan. Takutnya, ini berlanjut ke proyek-proyek lain yang sedianya akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apalagi, lokasi ledakan, Hotel J.W Marriot dan The Ritz Carlton, adalah hotel internasional yang biasanya menjadi tempat utama penginapan dan pertemuan para investor asing. Kejadian ini pasti dengan cepat tersebar ke belahan dunia lain dan menjadikan investor berpikir ulang berinvestasi di indonesia.

Para wisatawan asing yang mulanya akan berkunjung ke Indonesia pun banyak yang membatalkan rencana liburannya karena aksi bom ini. Contoh besarnya adalah pembatalan klub sepakbola Manchester United ke Indonesia untuk menemui para penggemarnya di sini. Impilkasi yang paling besar tentunya adalah keluarnya travel warning dari negara lain untuk melarang atau membatasi warganya berkunjung ke Indonesia. Target wisman tahun 2009 yang lebih besar dari kunjungan tahun 2008 sebesar 6,5 juta orang pun terancam tak tercapai.

Upaya untuk memulihkan citra Indonesia kepada para investor dan wisatawan asing mesti intensif digalakkan. Kita harus berjuang keras menanamkan persepsi bahwa Indonesia tetaplah aman dan nyaman untuk dikunjungi. Indonesia is still safe and nice to be visited. Slogan itu harus didengungkan bangsa ini kepada pihak internasional. Sejalan dengan itu, aparat POLRI dan BIN mesti segera mengungkap dalang di balik aksi ini. Ini sangat penting agar pihak internasional percaya pada upaya Indonesia memberangus terorisme.

Kita juga harus tetap optimis dengan kekuatan perekonomian negeri ini. Kita harus yakin, bangsa ini sudah memiliki daya tahan dalam perekonomiannya. Ini karena jika melihat struktur ekonominya, Indonesia lebih digerakkan pasar domestiknya yaitu sebesar 70% dibandingkan pasar luar negeri sebesar 30%. Pasar domestik terdiri dari konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah, sedangkan pasar luar negeri dipengaruhi investasi dan ekspor yang rentan pada kejadian seperti pemboman ini.

Namun, tetap saja kita wajib mengupayakan stabilitas keamanan karena perekonomian sangat sensitif dengan adanya gangguan keamanan. Pengalaman buruk ekonomi pasca Bom Bali I pun tidak akan kita alami lagi ketika bangsa ini bersinergi bersama untuk bergerak cepat memulihkan keadaan keamanannya. Dengan demikian, kita wajib optimis, dengan ada atau tidaknya bom Mega Kuningan, target pertumbuhan ekonomi tahun 2009 sebesar 4,2-4,5 pun tetap akan kita capai.

Penguatan Fungsi Ormawa

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 06.00 | , | 0 komentar »

Ketika UU BHP mulai diberlakukan tahun ini, salah satu implikasinya berkaitan dengan proses penerimaan mahasiswa barunya. Dengan adanya UU BHP, suatu perguruan tinggi (PT)–walaupun banyak yang membuka jalur khusus sejak beberapa tahun lalu–akan semakin dipermudah menerima mahasiswa yang ‘didambakannya’. Maksudnya, dengan jalur khusus, PT lebih leluasa mendapatkan mahasiswa yang punya kelebihan finansial. Ini sejalan dengan peran UU BHP yang menuntut PT lebih mandiri mendanai kegiatan operasionalnya. 

Resultannya adalah terjadi semacam kastanisasi pada struktur mahasiswanya sebagai konsekuensi intensifnya penerimaan mahasiswa lewat jalur khusus. Distorsi antara jalur khusus dan jalur regular (SNMPTN) menimbulkan terjadinya semacam kesenjangan pada predikat mahasiswa yang tersematkannya. 

Mahasiswa yang kaya adalah mahasiswa jalur khusus, sedangkan mahasiswa miskin atau menengah adalah mahasiswa jalur SNMPTN. Sekarang, pengategorian semacam ini umum terjadi pada banyak PTN/PTS di Indonesia dan ini jelas menjadi sinyal bahaya bagi upaya pembelajaran mahasiswa supaya menjadi agen perubahan bangsa.

Salah satu cara mereduksi kastanisasi mahasiswa itu adalah dengan penguatan fungsi dan peran organisasi kemahasiswaan (ormawa). Ormawa, baik senat, pers mahasiswa, himpunan mahasiswa jurusan, maupun yang lainnya, akan membantu terciptanya perhatian lugas bahwa mahasiswa semuanya adalah sama orientasinya, sama sebagai inisiator yang bertanggung jawab untuk mengubah bangsa ini lebih baik. 

Dengan mengoptimalkan peran ormawa, mahasiswa yang berlatarbelakang beragam, dari mulai anak pejabat, pengusaha, PNS sampai petani, akan mampu dibentuk mindset bahwa mengkotak-kotakan predikat adalah laku penodaan atas identitas dan peran utama mahasiswa sebagai agen perubahan. Ormawa harus mampu membentuk persepsi seragam bahwa mahasiswa adalah tulang punggung bangsa. Akhirnya, penyadaran itu harus ditindaklanjuti dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan ormawa yang positif agar pembelajaran para mahasiswa terbingkai dalam pigura kebangsaan demi menciptakan Indonesia yang sejahtera. 

Kekalahan yang Terdidik

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 05.58 | , | 0 komentar »

Bangsa ini mesti berbangga. 8 Juli kemarin, Pilpres telah berlangsung dengan aman dan lancar. Hajatan besar demokrasi lima tahunan ini secara umum bisa berlangsung damai, tanpa dibumbui kericuhan besar yang mencederai pelaksanaannya. Sebuah prestasi gemilang bangsa ini mampu ditorehkan, menambah deretan prestasi demokrasi lainnya yang sudah kita peroleh setelah menghirup harumnya aroma reformasi, semenjak 11 tahun silam.

Pilpres 2009 adalah kemenangan rakyat. Rakyatlah yang berkuasa memilih pemimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan. Hasil yang bisa kita lihat sekarang adalah hasil dari ikhtiar rakyat yang menginginkan kehidupannya lebih baik. Kemenangan sepasang capres-cawapres adalah simbolisasi atas kemenangan rakyat. Ini memang tak salah, dalam sebuah negara demokrasi yang kuat, sosok pemimpin menjadi sebuah simbol atas kekuasaan rakyat. Itu lah yang mesti terjadi pula di negara ini.

Memang, dalam setiap pesta demokrasi pasti terdapat pihak yang kalah karena sejalan dengan sistem yang mengharuskan pemilu menghasilkan sesosok pemimpin. Namun, kekalahan itu adalah sesuatu yang semu. Semua pihak sebenarnya adalah pemenang karena mampu mengantarkan Pemilu kali ini sukses dan menjadi sejarah indah demokrasi bangsa ini. Alhasil, bagi yang kalah karena kekalahan perolehan suara itu, harus bisa menerimanya dengan jiwa besar. Pihak yang kalah sudah sepatutnya bersikap legawa menerima kenyataan yang terjadi karena ini adalah upaya edukasi kepada rakyat bahwa kekalahan juga menjadi bagian penting dari proses demokrasi yang sehat.

Kekalahan tidak selalu harus dimaknai secara negatif. Mungkin orang selalu beranggapan pihak yang kalah adalah orang yang terhina, lemah ataupun busuk. Akan tetapi, anggapan itu tidak boleh ada dalam negara Indonesia ini, negara yang terkenal dengan sikap toleransinya. Kekalahan sebenarnya bisa mengantarkan pihak yang kalah menjadi oposisi. 

Namun, oposisi di sini bukanlah sebagai pihak yang memecah belah ataupun selalu berseberangan dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Oposisi harus diintenalisasikan sebagai kekuatan checks and balances terhadap yang bertahta. Oposisi bukanlah aib, tetapi sama terhormatnya dengan penguasa. Yang terpenting adalah spirit pengabdiannya kepada bangsa dan negara tetap menyala kuat, tak redup oleh kekalahannya.

Sayangnya, kekalahan laten yang sebenarnya, tidak selalu mampu kita antisipasi dan atasi dalam Pilpres kali ini. Realitas yang terjadi dalam Pilpres 2009 mungkin bisa sebagai indikator kekalahan besar dalam demokrasi kita. Ini berkaitan dengan tingginya angka golput. Angka golput Pilpres 2009 meningkat dibandingkan Pilpres 2004. Secara implisit ini menunjukkan bahwa partisipasi politik rakyat mengalami kemunduran. Dan, kemunduran merupakan sumbu utama dari kekalahan. Golput lagi-lagi jadi musuh bisu atas terlaksananya pesta demokrasi yang sehat.

Mungkin mahasiswa perlu bercermin pula terhadap realitas yang ada, terutama kita sebagai mahasiswa UGM. Kita mungkin sedikit tahu bahwa di UGM, tepatnya di Auditorium Fakultas Peternakan, saat pilpres kemarin, terdapat TPS kampus khusus mahasiswa kompleks UGM yang dinamai TPS 88. TPS ini sedianya untuk mengakomodasi sekitar 29.000 mahasiswa UGM luar daerah untuk menyontreng, tetapi hasilnya hanya terdapat 524 mahasiswa yang peduli datang ke TPS ini. Itu pun hanya 376 yang menggunakan hak suara, 2 tidak sah dan 126 memilih untuk golput.

Cerminan itu memang tidak bisa menggambarkan secara utuh atas realitas golput pada mahasiswa UGM karena mungkin mahasiswa luar daerah pulang ke daerahnya untuk menyontreng. Akan tetapi ini dapat sebagai pembelajaran bahwa maraknya golput di kampus adalah cerminan atas sikap mahasiswa untuk rakyat. Kita perlu bertanya, apakah dunia kampus terlalu eksklusif bagi rakyat? Sehingga mahasiswa tidak berinisiatif untuk ikut dalam pesta demokrasi rakyat, entah terposisikan sebagai golput administratif ataupun idealis. Mahasiswa mungkin telah kalah pada pencitraan politik yang buruk sehingga sangsi ikut serta dalam proses politik seperti Pilpres ini.

Sesungguhnya, kampus adalah inisiator utama pembangunan yang menyejahterakan rakyat. Kita tentu tidak ingin bahwa dengan meningkatnya kualitas pendidikan itu sejalan dengan meningkatnya golput di kampus atau yang dikenal dengan golput terdidik. Jikalau terjadi, mungkin itu merupakan kekalahan yang nyata karena pendidikan tinggi kita. Pendidikan kita gagal mencetak orang-orang yang peduli atas demokrasi rakyat. 

Kemenangan rakyat yang berhasil melahirkan pemimpin bangsa selama lima tahun ke depan mungkin bisa saja hanya sebagai angin lalu bagi mahasiswa pecinta golput. Mereka sesungguhnya telah dikalahkan oleh ‘idealisme’ yang merupakan penafsiran buta dan sempit atas egonya sendiri. Mereka tak mau dengan legawa ikut membangun bangsa dengan berpartisipasi pada pesta demokrasi rakyat kemarin. Pastinya, sematan agen perubahan bangsa pada mahasiswa perlu dipertanyakan lagi.

Rasionalitas Di Atas Loyalitas

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 05.48 | , | 0 komentar »

Dari kemarin, seluruh rakyat telah puas menyimak bahwa semua capres telah menyampaikan janji-janji kemakmuran untuk bangsa ini, apapun slogan dan program yang diusungnya. Semua capres dipastikan mendukung upaya pemberantasan korupsi. Semua capres berjanji ingin membangun petani, buruh, nelayan dan kaum-kaum marjinal lain. Semua capres telah bersuara menolak dominasi asing dalam perekonomian Indonesia. Semua capres bervisi-misi meningkatkan akses dan kualitas pendidikan rakyat. 

Hari ini, 8 Juli 2009, tibalah hari keramat yang akan sangat menentukan perjalanan bangsa ini selama lima tahun kedepan. Hari ini, Pilpres 2009 dilaksanakan serentak seluruh Indonesia. Segala visi-misi dan program capres-cawapres telah dikantongi. Sekitar 175 juta rakyat Indonesia – kecuali golput – berbondong-bondong datang menuju bilik suara untuk memberikan suaranya kepada salah satu capres-cawapres pilihannya. Rakyat datang mencontreng dengan membawa harapan tinggi, yaitu: ingin mendapatkan pemimpin yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat .

Setiap terjadi pemilu pastinya alasan pemilih memilih akan bersangkut paut dengan dua hal utama yaitu, rasionalitas dan loyalitas. Pemilih yang mengedepankan rasionalitasnya adalah pemilih yang rasional. Pemilih rasional adalah orang yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Dalam Pilpres ini, pemilih rasional akan memilih pasangan calon presiden/wakil presiden, yang menurut perhitungan bisa membawa keuntungan baginya – dan juga rakyat – di masa depan, apa pun bentuk keuntungan itu.

Sedangkan pemilih yang loyal adalah pemilih yang memiliki loyalitas dan kesetiaan pada salah satu figur pribadi calon. Dasar pemilih loyal terbangun karena sudah adanya ikatan psikologis dan emosional yang kuat antara figur dengan pendukungnya. Sesosok figur dipandang memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah bangsa yang didasari pada sifat dan kepribadian yang melekatnya. Pemilih loyal cenderung memberikan hak suaranya berdasarkan kesamaan pandangan, sifat dan ideologi yang dimiliki figurnya.

Menurut pribadi penulis, rasionalitas harus dijunjung di atas loyalitas. Dengan demikian, kita akan lebih terfokus pada visi-misi dan program capres mana yang lebih menguntungkan rakyat pada saat penjabatannya. Pemilih yang rasional tentu akan bisa mengetahui mana yang yang terbaik bagi bangsa ini karena pilihannya dilandaskan pada perhitungan yang bermanfaat.

Rasional dalam memilih akan menghindarkan kita dari kebutaan (blindness) pada calon presidennya. Figur yang semata-mata didukung berdasarkan sifat yang melekat tanpa diperhatikan program yang dimilikinya, tentu bisa menjadi sebuah kamuflase yang menyesatkan rakyat. Kita bisa kena tipu bahwa di masa mendatang ternyata apa yang dijanjikannya hanya omong kosong belaka. Ini mungkin terjadi karena kita tidak rasional dan jujur memilih seseorang yang kenyataannya bukan menjadi sosok pemimpin terbaik.

Sekarang, Pilpres 2009 adalah saat tepat untuk rakyat menentukan pilihan siapa yang tepat duduk di singgasana RI-1 dan RI-2 berdasarkan rasionalitasnya. Dengan mengedepankan rasionalitasnya, ini sebagai indikator pula bahwa bangsa ini telah semakin cerdas dalam berdemokrasi. Hari ini, marilah mencontreng dengan rasionalitas kita pada capres-cawapres demi Indonesia yang lebih baik.