(Selalu) Mengabaikan Hal Dasar

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 22.59 | , , | 0 komentar »

Yang dibutuhkan adalah sinergi bersama pada semua pihak dalam mengatasi polemik DPT ini. Pihak-pihak termasuk parpol perlu mendukung KPU dalam melakukan validasi ulang DPT di daerah. KPU daerah perlu mengajak parpol untuk melakukan penyisiran di daerah dan jika perlu dilaksanakan secara door-to-door ke tiap rumah penduduk. Dengan jumlah tenaga yang lebih banyak, tentu validasi ulang akan menjadi lebih cepat, mudah dan tepat. Kita pun harus optimis masih ada waktu menyelesaikan polemik DPT sebelum Pemilu, hari Kamis, 9 April 2009.

Sudah saatnya kita menjadi bangsa yang cerdas dan solusif dalam menyikapi tiap masalah. Persoalan ini merupakan persoalan bersama sehingga harus diselesaikan secara bersama pula. Jangan sampai bangsa ini terjebak pada isu-isu yang sengaja disuarakan untuk merusak pesta demokrasi kita. Semua pihak perlu sepakat dan sadar bahwa semua yang dilakukan adalah sama-sama untuk membawa Indonesia ke gerbang kesejahteraan yang adil dan makmur. Kita belum terlambat untuk menyelenggarakan pergelaran Pemilu 2009 secara jujur, adil, damai, bersih dan berkualitas. Mari bersama jadikan Pemilu 2009 sebagai goresan tinta emas dalam lembar sejarah Bangsa Indonesia.

Bagaimana suatu entitas sukses menyelenggarakan acaranya, andai hal yang paling mendasar saja masih terabaikan. Pun, Bangsa Indonesia, sebagai penyelenggara hajatan demokrasi Pemilu 2009, seharusnya tidak mengabaikan hal-hal fundamental agar terciptanya suatu pesta demokrasi yang jujur, adil, bersih dan damai. Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah subyek dasar pelaksanaan Pemilu 2009, tetapi ironisnya DPT tidak menjadi isu utama yang dipikirkan jauh hari sebelumnya.

Baru kemudian, ketika tenggat waktu Pemilu 2009 tinggal sekitar sebulan, isu DPT menjadi bulatan bola es yang digulirkan oleh sekelumit pihak yang ingin menjadi pahlawan demokrasi. Pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Pemilu, yaitu KPU, pun terkebiri tak karuan. Sembari melakukan validasi ulang atas DPT dengan dibantu partai politik, KPU dan ‘partner’ dalam pendataan DPT, Depdagri, malah diajukan ke meja hukum atas ketidakbecusan mendata DPT yang dikhawatirkan menodai Pemilu 2009.

Memang, membeberkan bukti adanya kesalahan adalah perbuatan yang sangat mulia demi terciptanya kejujuran dan keadilan. Kita pun harus mengapresiasinya atas nama kebenaran. Namun, alangkah baiknya jika kita seharusnya membuat suatu early warning system dalam Pemilu 2009 secara lebih antisipatif. Ini dapat dilaksanakan beberapa bulan lalu ketika waktu yang tersisa masih sangat longgar untuk melakukan pendataan ulang. Dengan waktu yang dipersiapkan dari dulu, DPT yang diperoleh pun dapat menjadi lebih akurat.

Apalagi, kita telah diberikan pelajaran sangat berharga dari kasus-kasus kecurangan Pilkada di berbagai daerah. Dugaan ketidakakuratan DPT yang menjurus penggelembungan suara pada Pilkada Jawa Timur seharusnya bisa menjadi cerminan diri bangsa ini yang kemudian bisa kita tindaklanjuti bersama dengan koreksi atas keabsahan DPT dan preventifikasi kecurangan DPT di masa mendatang. Andaikata itu terjadi, kita, baik panitia maupun peserta, pun tinggal bersiap sepenuhnya dan sekhusyuknya untuk mempersiapkan momentum 9 April 2009 sebagai langkah agung menuju Indonesia yang lebih baik. Bukan malahan kita masih adu otot mempersoalkan validasi DPT yang belum tentu mencerminkan asas jujur dan adil bagi kepentingan rakyat.

Antisipasi lebih dini pada hal-hal fundamental, seperti DPT, adalah tindakan yang seharusnya bangsa ini budayakan daripada terbiasa ‘bernyanyi’ mengungkap kesalahan suatu pihak, dalam hal ini pemerintah, pada masa mendekati hari-H seperti sekarang ini. Harus diakui, bangsa ini sudah seringkali saling melempar kesalahan ketika ada masalah besar yang mendera bersama. Seharusnya kita selalu memandang bahwa persoalan ini merupakan persoalan bersama sehingga harus diselesaikan secara bersama pula.

Daftar Pemilih Tetap (DPT) tentu merupakan instrumen sangat vital atas terselenggaranya Pemilu yang sesuai dengan harapan rakyat. Validitas DPT Pemilu 2009 adalah syarat awal untuk membawa Indonesia ke gerbang kesejahteraan di masa depan. Oleh karena itu, tanggung jawab menyediakan DPT yang valid tidak hanya pada pundak KPU saja, tetapi pada semua pihak yang terlibat langsung dalam Pemilu 2009, tercakup dari rakyat, parpol, pers sampai lembaga independen pengawas pemilu. Tentu dengan antisipasi dari jauh-jauh hari sebelumnya. Kekeliruan dalam DPT, seperti: pendataan anak-anak, orang gila, anggota TNI/Polri aktif, orang yang telah meninggal dan pendataan ganda pada satu orang, bisa ditelusuri lebih awal tanpa harus kelabakan menyisir dua minggu sebelum Pemilu. Selain itu, masyarakat yang belum terdata pun bisa segera dimasukkan dalam DPT lebih cepat dan tepat dengan dikoordinasi oleh KPU.

Akhirnya, dengan melihat kisruh DPT yang berlarut-larut saat ini, sungguh sangat disesalkan bahwa selagi kita masih selalu tak acuh pada hal-hal dasar ini dan saling menyalahkan, tentu jangan beharap Pemilu 2009 akan berkualitas sesuai dengan harapan bersama. Pesimis. Pun, kekhawatiran terbesarnya adalah kita lagi-lagi harus memilih para pemimpin yang tidak berdasar pada aspirasi rakyat. Dan, dalam cakupan berbangsa dan bernegara, kita juga akan semakin jauh meninggalkan nilai-nilai hidup yang terkandung dalam dasar negara kita, yaitu: Pancasila. Memilukan, bangsa ini selalu terus mengabaikan pada hal-hal dasarnya.

Optimis Masih Ada Waktu

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 19.53 | , , | 0 komentar »

Terhitung hari ini, Pemilu 2009 untuk memilih partai politik sekaligus juga wakil rakyat di DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan DPD tinggal 10 hari lagi. Jangka waktu itu bisa dikatakan sangatlah singkat untuk menyambut datangnya hajatan demokrasi Indonesia ketiga di orde reformasi ini. Sepuluh hari tersisa menuju hari ‘keramat’ yang akan menentukan arah perjalanan bangsa ini minimal selama 5 tahun ke depan. Apakah bangsa ini akan terbang menjadi lebih tinggi atau terjerumus dalam lubang penderitaan yang semakin dalam, sangat tergantung pada hasil Pemilu 2009 nanti.

Harusnya segala macam persiapan pelaksanaan Pemilu 9 April sudah dalam tahap finalisasi. Segala masalah terkait pemilu harus dipastikan sudah tidak ada lagi. Sederhananya, baik pemilih maupun panitia pemilu hanya tinggal bersiap secara teknis dan mental menunggu hari-H tiba. Pemilih hanya tinggal semakin memantapkan plihannya dan pada hari Kamis minggu depan datang ke bilik pemungutan suara. Pun, panitia pemilu hanya tinggal menyiapkan segala macam teknis yang menjadikan pelaksanaan Pemilu 2009 sukses.

Namun, sangat disayangkan, mendekati hari-H Pemilu ternyata ada masalah paling mendasar yang belum terselesaikan bahkan semakin runyam, yaitu: data Daftar Pemilih Tetap (DPT). Kebenaran data DPT pun menjadi pokok persoalan yang wajib diselesaikan dalam waktu sesingkat ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemilu harus berlomba dengan waktu untuk mengatasi persoalan DPT ini. Keabsahan data DPT menjadi begitu sangat penting karena ini menyangkut dengan kualitas dan keabsahan Pemilu 2009.

Masalah DPT ini bermula dari adanya dugaan kesalahan data jumlah DPT di provinsi Jawa Timur. Kini, masalah tersebut telah menyebar luas secara nasional. Ditemukan banyak kejanggalan berupa pendataan ganda pada satu orang, pendataan anak-anak, orang gila, anggota TNI/Polri aktif sampai orang yang telah meninggal pun masuk pada DPT. Ini kemudian berakibat pada timbulnya pemilih-pemilih siluman yang jelas akan menimbulkan kerawanan kecurangan. Ujung-ujungnya berupa penggelembungan suara yang dapat menguntungkan salah satu pihak.

Yang menghebohkan, ternyata pemilih siluman pada Pemilu 2009 disinyalir mencapai sekitar 20 juta. Jumlah sebanyak itu sangatlah signifikan dan akan sangat mempengaruhi hasil Pemilu 2009. Kemudian, hal ini mendorong berbagai pihak, terutama partai politik, mengecam kinerja dari KPU sampai-sampai memperkarakan KPU dan ‘partner’ dalam pendataan DPT, Depdagri, ke meja hukum. Bahkan lebih ekstrem lagi, ada pihak yang menuntut pelaksanaan Pemilu 9 April harus diundur dengan dalih tidak validnya DPT tersebut akan menjadikan Pemilu 2009 tidak sah.

Namun, alih-alih kita terus mempermasalahkan dan cenderung memperumit DPT, alangkah baiknya semua pihak bersama-sama memutar keras otak mencari jalan solusinya. Waktu pemilu tinggal beberapa hari lagi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan tidak seharusnya mendramatisir masalah ini ke dalam polemik yang dilebih-lebihkan sebagai sesuatu yang mengancam demokrasi kita. Tidak seharusnya pula, hal ini dipolitisasi sebagai hal yang akan menguntungkan salah satu pihak yang bisa menjurus pada fitnah-memfitnah antar pihak. Sadarlah, ini bukan sebuah drama panggung yang mudah diganti skenario, setting dan pemainnya, melainkan hajatan terbesar demokrasi yang diharapkan oleh rakyat untuk membawa ke taraf kesejahteraan.

Yang dibutuhkan adalah sinergi bersama pada semua pihak dalam mengatasi polemik DPT ini. Pihak-pihak termasuk parpol perlu mendukung KPU dalam melakukan validasi ulang DPT di daerah. KPU daerah perlu mengajak parpol untuk melakukan penyisiran di daerah dan jika perlu dilaksanakan secara door-to-door ke tiap rumah penduduk. Dengan jumlah tenaga yang lebih banyak, tentu validasi ulang akan menjadi lebih cepat, mudah dan tepat. Kita pun harus optimis masih ada waktu menyelesaikan polemik DPT sebelum Pemilu, hari Kamis, 9 April 2009.

Sudah saatnya kita menjadi bangsa yang cerdas dan solusif dalam menyikapi tiap masalah. Persoalan ini merupakan persoalan bersama sehingga harus diselesaikan secara bersama pula. Jangan sampai bangsa ini terjebak pada isu-isu yang sengaja disuarakan untuk merusak pesta demokrasi kita. Semua pihak perlu sepakat dan sadar bahwa semua yang dilakukan adalah sama-sama untuk membawa Indonesia ke gerbang kesejahteraan yang adil dan makmur. Kita belum terlambat untuk menyelenggarakan pergelaran Pemilu 2009 secara jujur, adil, damai, bersih dan berkualitas. Mari bersama jadikan Pemilu 2009 sebagai goresan tinta emas dalam lembar sejarah Bangsa Indonesia.

Buah Simalakama Mahasiswa D3

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 01.00 | , , | 0 komentar »

Kebijakan kontroversial kembali dikeluarkan oleh Universitas Gadjah Mada. Beberapa waktu lalu, diumumkan bahwa program ekstensi atau yang lebih dikenal program swadaya telah ditutup di semua fakultas mulai tahun perkuliahan 2009. Alasan penutupan yang dikeluarkan pihak rektorat adalah untuk menjaga mutu dan profesionalisme pendidikan di universitas yang berperingkat 316 dunia versi THES-Q pada tahun 2008 kemarin.

Sontak, kebijakan itu pun menjadi bahan perbincangan serius bagi tiap mahasiswa, utamanya mahasiswa diploma III. Tanggapan yang dikeluarkan seragam, mereka (semua mahasiswa D III,-red) sangat kecewa dengan rencana penutupan program swadaya. Bagaimana tidak, harapan yang dirajut saat mulai masuk D III agar tetap bisa menjadi sarjana kendati tidak lolos seleksi S1, kini pun kandas terhempas asa ambisius berdalihkan universitas riset dunia.

Tak bisa dipungkiri, penutupan progrm swadaya merupakan buah simalakama teramat pahit bagi mahasiswa D III UGM yang menginginkan studinya dilanjutkan ke jenjang strata UGM. Impian mereka pun kandas. Harapan mereka menjadi kosong belaka. Kebanggaan menjadi sarjana UGM harus dilupakan, kecuali mereka bersedia mengulang dari tahap awal penerimaan mahasiswa baru S1. Terhitung tahun 2009 ini, lulusan D III pun harus mencari universitas lain yang membuka program ekstensi jikalau masih tetap menginginkan meraih titel sarjana.

Memang, pihak rektorat telah menginisiasi berdirinya sekolah vokasional yang mana akan mewadahi seluruh program diploma digabung menjadi satu institusi, sekolah vokasional. Namun, yang menjadi keprihatinan adalah belum adanya kepastian sekolah ini kapan mulai dibuka. Padahal, di dalam rancangan sekolah vokasional akan ada program D IV yang merupakan kelanjutan dari program D III. Lulusan dari D III pun bisa segera meneruskan di tingkat Diploma IV.

Ini lah yang sebenarnya menjadi kekurangpekaan pihak universitas dalam mencermati realitas yang ada. Sebagai sebuah institusi yang besar dan berpengalaman hampir 60 tahun, harusnya UGM bisa merakit desain pendidikan yang lebih bijaksana dan tidak merugikan salah satu pihak. Dalam sistematika manajemen, suatu entitas yang akan menutup usahanya harus terlebih dulu merencanakan jalan keluar berupa solusi bagi instrumen-instrumennya.

Kaitannya dengan masalah ini adalah, seharusnya pihak universitas membentuk terlebih dulu sekolah vokasional baru kemudian diikuti langkah penutupan program swadayanya. Itu sebuah langkah logis nan bijaksana. Mengapa demikian?. Hal ini dilakukan untuk mencegah minimal mengurangi efek kejut dari kebijakan penutupan program yang selama ini merupakan tujuan utama hampir semua mahasiswa program D III. Pembukaan sekolah vokasional yang dibarengi pembukaan program D IV akan sedikit banyak memfasilitasi harapan-harapan tersebut, minimal untuk angkatan yang hampir lulus jenjang D III.

Mahasiswa program D III tentu juga merupakan stakeholder yang berkontribusi banyak pada jejak perjalanan UGM. Bukankah sebagai mahasiswa yang berkecimpung pada ilmu bisnis dan ekonom kita paham betul bahwa perusahaan harus selalu menghargai stakeholdernya. Sama halnya dengan para pembuat kebijakan di Universitas Gadjah Mada, mereka harus melihat bahwa mahasiswa D III yang ingin lanjut ke S1, juga sebagai bagian dari “keluarga” UGM. Jangan sampai dengan berdalih mengejar world class research university, ada beberapa pihak yang dikorbankan tanpa dipikirkan jalan solusinya. Ironis jelas, kalau mengingat identitas UGM sebagai universitas kerakyatan yang mungkin kini sudah punah.(IXL)

Tidak Sesingkat Membalikkan Tangan

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 11.09 | , , | 1 komentar »

Pada 4 Maret lalu, Bank Indonesia mengumumkan penurunan BI Rate sebesar 50 basis poin menjadi 7,75%. Pemangkasan BI Rate hingga 200 basis poin dalam empat bulan terakhir ini merupakan salah satu upaya memperkuat perekonomian nasional dalam rangka mencegah imbas yang lebih dalam dari krisis global saat ini.

Ketika BI Rate diturunkan, tentu alur yang diharapkan adalah sektor perbankan ikut pula menurunkan suku bunga kreditnya. Jika perbankan telah menurunkan suku bunga kreditnya, ini akan berdampak pada peningkatan minat masyarakat mengajukan kredit ke bank. Ketika kredit usaha yang diminta banyak, maka sektor ekonomi riil pun akan bergairah. Implikasinya, penciptaan lapangan kerja akan semakin meningkat karena dunia usaha diringankan dengan penyediaan modal yang bersuku bunga lebih rendah. Ancaman keterpurukan ekonomi Indonesia pun bisa dihindari dengan inisiasi kebijakan penurunan BI Rate ini.

Idealnya, jika suku bunga acuan BI 7,75%, suku bunga kredit perbankan bisa turun sekitar 4% dari kisaran yang ada saat ini, 14-16%. Namun, tidaklah mudah bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga dari kisaran itu. Ini dikarenakan kemungkinan terjadinya penurunan pendapatan yang besar dari usaha pemberian kredit ke masyarakat. Selama ini, diketahui bahwa penyumbang terbesar pendapatan perbankan adalah usaha pemberian kredit.

Padahal, sebenarnya tidak ada alasan lagi suku bunga kredit untuk tidak turun. Di tengah hantaman krisis, kemampuan kredit masyarakat tentu tidak sekuat ketika sebelum krisis. Jika suku bunga kredit tidak turun, dikhawatirkan akan terjadi peningkatan kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Ini tentu akan membuat bank-bank dalam kondisi berbahaya karena tidak adanya atau kurangnya kredit yang kembali.

Ini lah yang membuat perbankan dalam kondisi dilematis. Oleh karena itu, perbankan membutuhkan waktu transisi antara penurunan BI Rate dengan suku bunga kredit. Masa transisi itu pun bervariasi tergantung dengan kemampuan likuiditas masing-masing bank.

Paling tidak dibutuhkan jeda waktu satu bulan untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit. Jeda waktu ini digunakan perbankan untuk menyesuaikan dengan tingkat suku bunga dananya, seperti: giro, deposito dan tabungan. Bank yang memiliki likuiditas yang baik tentu lebih mudah menurunkan suku bunga dananya. Jelasnya, dalam menurunkan suku bunga kredit perlu diikuti dengan penurunan suku bunga dana perbankan, agar tetap terjadi margin yang rasional bagi likuiditas perbankan.

Memang, kebijakan yang dilakukan oleh BI adalah bertujuan untuk menyelamatkan keadaan ekonomi Indonesia, utamanya sektor riil, tetapi mengaplikasikan kebijakan ini perlu proses dan waktu yang tidak sesingkat membalikkan tangan. Sektor perbankan tentu mempunyai aturan dan syarat tersendiri dalam menurunkan suku bunga kreditnya. Semua harus dipikirkan secara bijaksana agar jangan sampai terjadi masalah yang menyengsarakan rakyat di kemudian hari.

*) Artikel pernah dimuat di koran Sindo, 14 Maret 2009

Jujur diakui, budaya kekerasan mengakar kuat dalam keseharian hidup masyarakat kita. Kekerasan menjadi potret suram yang tak bisa dengan mudahnya dihapuskan dari alur pikir masyarakat. Sudah menjadi realita bahwa kekerasan terus terproduksi karena banyaknya kekuatan tidak harmonis dalam masyarakat. Mustahil mempunahkan kekerasan jika kekuatan-kekuatan yang memproduksi kekerasan masih terus timbul.

Kekuatan penyulut kekerasan umumnya bisa terjadi pada obyek yang berstruktur tidak seimbang. Ada satu pihak yang memiliki kekuatan atau kekuasaan lebih tinggi dibandingkan lainnya. Kasus suami menyiksa istri dan anaknya atau kasus majikan menganiaya sahayanya adalah cerminan kekerasan resultan kekuasaan.

Parahnya, yang terjadi pada masyarakat adalah kekerasan itu direproduksi menjadi kekerasan lain. Kekerasan melahirkan kekerasan, dan begitu seterusnya hingga terbentuklah roda kultur kekerasan yang berputar tiada hentinya. Yang kuat menindas yang lemah, yang lemah melampiaskannya pada yang lebih lemah atau dengan cara lain, yaitu mencari kesempatan membalas terhadap kekerasan yang dialaminya.

Budaya kekerasan yang telah beranak pinak ini memang tidak mudah untuk dicerabut dari kehidupan masyarakat kita. Perlu usaha bertahap dan menyeluruh dari segala komponen masyarakat. Usaha yang ditempuh harus dimulai dari hal yang paling mendasar, yaitu: pembentukan individu yang anti-kekerasan

Cara yang bisa dilakukan adalah dengan menggiatkan pendidikan nirkekerasan pada tiap individu. Hal ini dilandasi pada kenyataan bahwa masyarakat sekarang cenderung kurang arif dan kreatif dalam menghadapi kerunyaman hidup. Kekerasan seolah menjadi manifestasi sikap umum pada masyarakat jika terjadi pergesekan kehidupan. Pendidikan nirkekerasan adalah jalan mencegah sekaligus meminimalisasi budaya kekerasan yang mungkin akan terjadi.

Pendidikan nirkekerasan juga harus disokong dengan peran berbagai pihak, termasuk media massa. Selama ini, media massa menjadi pendorong terciptanya norma dan perilaku baru melalui informasi yang disampaikan.

Tak jarang pula, pemberitaan kekerasan kepada khalayak umum menjadi hal lumrah bagi media. Hal ini berimplikasi pada pembentukan budaya yang buruk karena media bisa saja menjadi tool yang meracuni alam pikiran masyarakat dengan pemberitaan kekerasannya. Maka, sudah sepatutnya khittah media massa sebagai alat edukasi masyarakat harus dicitrakan lagi secara positif.

Terakhir, pemerintah wajib menjadi inisiator penumbuhkembangan budaya welas asih melalui kebijakannya. Caranya, pemerintah selalu mengutamakan aspek kesejahteraan lewat kebijakan yang pro-rakyat. Logikanya, kultur kekerasan akan perlahan pudar jika hajat hidup rakyat yang selama ini sering memicu kekerasan telah ‘dipenuhi’ pemerintah. Harapannya, sikap welas asih negara pada rakyatnya mampu memberi jalan solusif pada penghentian putaran roda kultur kekerasan dalam masyarakat.

Menelisik Kapitalisasi Pers

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 11.23 | , , , | 0 komentar »

Zaman telah berubah. Sekarang segala hal telah mengalami perubahan orientasi menuju industrialisasi dan komersialisasi. Kapital menjadi unsur yang yang tak terelakkan pada segala bidang kehidupan, tak terkecuali dalam ranah pers dan media. Kapital sendiri dapat menjamah dunia pers karena sebagai imbas dari globalisasi yang telah merasuk ke dalam sendi-sendi masyarakat. Bagi insan pers, kapitalisasi media merupakan ancaman yang nyata terhadap hakikat pers sebagai penyuara kebenaran. Idealisme yang selalu menjadi identititas kebanggaan pers kini pun nyaris terlupakan dan ironisnya hanya tinggal dimiliki segelintir orang saja.

Tokoh Pers Indonesia, Rosihan Anwar, pernah menyatakan bahwa idealisme pers sekarang sudah berada pada tahap sekarat. Artinya pers saat ini bukan lagi sebagai pers perjuangan yang membela kepentingan rakyat kecil tetapi sudah menjadi pers kapitalis, milik para pemodal dan pebisnis. Industri pers sudah dikuasai, dimiliki, dan dikendalikan oleh para pemodal dan pebisnis besar sehingga industri pers sudah menjadi industri komersial untuk mencari keuntungan dan kepentingan ekonomi belaka.

Pantas kita cermati, dunia pers sekarang telah menyimpang dari apa yang seharusnya mereka perjuangkan. Secara internal, pers saat ini, selain lebih banyak bekerja untuk kepentingan para pemodal dengan mencari keuntungan, juga dikelola dengan cara-cara komersial yang menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Industri pers sekarang terutama media penyiaran tidak peduli lagi dengan kualitas penyampaian, demikian juga media cetak tidak lagi peduli dengan kualitas pemberitaan. Media-media pers lebih banyak memperhatikan rating dan berapa banyak oplah koran yang terjual.

Selain itu, media telah beranalogi kepada struktur pasar. Hal ini bermakna bahwa jurnalis tidak lebih sekadar sebagai buruh yang bekerja bagi pemilik modal. Ketika jurnalis berperan sebagai buruh, maka yang paling menentukan kehidupannya adalah kalangan pemilik modal. Dan, karena jurnalis sudah disesaki oleh berbagai perhitungan yang bercorak kapitalistik, maka jurnalis dalam melihat dan memberlakukan masyarakat pun tidak lebih sebagai sasaran pasar (target market).

Masyarakat pun diposisikan sebagai konsumen dengan perhitungan jurnalisme yang bernyawa pada "berikan pada konsumen apa yang mereka inginkan" (give they, consumer, what they want), dan bukan pada semangat "berikan pada publik apa yang mereka butuhkan" (give the public what they need). Jika masyarakat telah ditempatkan sebagai konsumen, dan bukan publik, maka apa yang dinamakan sebagai misi jurnalis untuk mencerdaskan dan memberikan pencerahan bagi masyarakat pun, akan tinggal sebagai memori masa silam yang manis untuk dilupakan. Jurnalis pun tidak mampu mengelak untuk berperan sebagai produsen pemberitaan yang telah berlaku sebagai komoditas.

Lantas, siapa yang paling diuntungkan dalam kehidupan pers yang sepenuhnya ditentukan oleh struktur kekuasaan pasar? Sekali lagi, para pemilik modal! Kalangan penguasa ini jelas tidak sudi untuk disebut sebagai kaum kapitalis, karena memiliki makna yang sedemikian peyoratif. Mereka lebih senang dan merasa terhormat untuk diberi julukan sebagai investor atau pelaku bisnis. Perhitungan yang digenggam oleh pemilik modal itu seolah-olah hanya sebatas pada penumpukan modal (accumulation of capital) serta mengeruk keuntungan secara maksimal (maximizing profits).

Dalam ranah penyampaian opini publik, para pemilik modal pula lah yang menjadi penentu untuk mendesakkan kepentingan-kepentingan bisnis mereka sendiri. Sehingga, apa pun yang diopinikan oleh kalangan pemilik modal seakan-akan menjadi cerminan yang sempurna dari berbagai aspirasi masyarakat. Dalam lingkup persoalan ini, Jurgen Habermas sudah memberikan sinyalemen, yaitu ketika pers menjadi sedemikian tergantung pada periklanan komersial dan dukungan permodalan, perhitungan-perhitungan ekonomis pun menjadi hal yang paling dipertimbangkan. Ini berarti kalangan individual yang mampu mengontrol kapital lah yang akan menentukan opini publik.

Pers sebagai ruang publik (public sphere) bagi keberlangsungan interaksi dan pertarungan gagasan yang bebas dari dominasi penguasa untuk menghasilkan opini publik yang sejati, ternyata, sudah digerogoti oleh para pemodal itu sendiri. Hebatnya, kalangan penguasa bisnis ini tidak berwajah sebengis penguasa negara, karena mereka melakukannya secara halus (subtle) dengan mekanisme kepemimpinan moral dan intelektual (hegemoni). Inilah yang menjadi keuntungan menjadi penguasa media karena bisa menjadi penguasa opini publik.

Contoh yang nyata dalam penggiringan opini publik pada satu kepentingan adalah terkait dalam kasus runtuhnya WTC. Seluruh dunia dibombardir dengan pemberitaan media massa dunia yang menyatakan Osama bin Ladin adalah dalang serangan teroris WTC. Akibatnya, sosok Osama pun dicap jelas sebagai buruan nomor wahid Amerika padahal dugaan seperti itu belum dapat dibuktikan kesahihannya.

Pada kasus dalam negeri, kasus Bom Bali adalah contoh di mana media massa cenderung membentuk opini yang hanya menguntungkan sepihak saja. Padahal pemberitaan yang benar adalah pemberitaan yang berkeadilan dan independen. Media massa, baik lokal maupun nasional bahkan internasional, secara serempak menuding Amrozi cs sebagai dalang Bom Bali I. Tak berimbang dengan informasi yang menunjukkan keanehan persidangan yang terjadi pada mereka maupun informasi yang menunjukkan bahwa banyak pakar yang tak percaya kalau Amrozi cs pelaku Bom Bali I sebenarnya.

Fakta empiris menunjukkan, objektivitas media massa merupakan hal yang nisbi, malah fakta berbicara bahwa setiap media massa, baik cetak maupun elektronik, mempunyai visi dan misi tersendiri yang mempengaruhi pemberitaan di media massa tersebut. Visi dan misi setiap media massa, yang tentu dibuat oleh pemilik media massa tersebut, acapkali terpengaruh oleh satu ideologi tertentu. Media massa kemudian dijadikan corong untuk menanamkan ideologi tersebut di masyarakat melalui pemberitaan atau wacana yang dikembangkan dari sudut pandang ideologi tersebut.

Kembali ke jalan yang benar

Disadari atau tidak, pada era modern ini di mana berita telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat dunia, media informasi tumbuh menjadi lahan penghidupan yang dilirik dan digeluti banyak orang. Media-media baru banyak didirikan baik itu dalam skala kecil atau besar, berorientasi idealistis atau profit, bertujuan pencitraan atau independensi informasi, maupun menjadi alat kuasa atau pengkritik pemerintah. Kuantitas media sangat banyak dan beragam jenisnya dan tentu memiliki tujuan yang berbeda-beda pula.

Dari data Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) pusat, per Juni 2008 terdapat 1.008 penerbit media cetak di seluruh Indonesia. Itu pun dari yang terdaftar. Belum lagi kuantitas media televisi yang mencapai belasan kanal. Hal demikian tentu menimbulkan persaingan yang sangat ketat dari para pelaku media. Oleh karena itu, suatu media cetak mau tidak mau membutuhkan banyak modal agar dapat bersaing menjadi yang terbaik di hati masyarakat. Tentu kita tidak mengharapkan adanya kebangkrutan media massa yang berimbas pada pemutusan kerja karyawannya.

Dunia pers tidak akan mampu menghindar lagi menuju pers yang komersil karena realita peradaban memang telah bergeser ke arah modernitas yang menjurus industrialisasi. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana menyikapi kondisi tersebut sejalan dengan konsep idealisme yang menjadi roh murni pers. Perubahan posisional pers di atas jelas merupakan sebuah tantangan besar, yang apabila tidak disikapi dengan hati-hati, maka eksistensi pers bisa terjebak dalam komersialisme yang melupakan idealismenya.

Oleh karena itu, kita perlu mewacanakan sebuah paradigma baru atas jagat pers. Suatu pers yang hidup di era modern harus memadukan antara idealisme dengan modal. Idealisme tanpa uang tidak akan jalan demikian juga uang tanpa idealisme akan tanpa arah. Pers yang kuat adalah pers yang memiliki idealisme dengan kapital yang kuat pula. Maksudnya, idealismenya pers sebagai entitas yang bekerja untuk kepentingan umum (publik) tidak terintervensi lagi dengan mindset bekerja untuk pelaku bisnis. Singkatnya, pers adalah pelayan publik bukan pelayan individu, golongan bahkan pemerintah.

Karena fungsinya adalah pelayan publik atau masyarakat, maka sudah seharusnya pers kembali menjalankan fungsi-fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial (fungsi pers dalam pasal 3 Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers). Fungsi-fungsi itu tentu harus dijalankan tidak lagi dengan berkiblat pada permintaan pemilik modal yang hanya profit-oriented , tetapi sungguh-sungguh ditekankan pada usaha pencerdasan dan peningkatan mutu masyarakat selaku obyek tujuan pengabdian pers.


*) Dibawakan dalam diskusi HMI Komisariat Ekonomi UGM, 4 Maret 2009