Fokus Memilih Visi untuk Lebih Baik

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 19.05 | , , | 0 komentar »

Tiga pasangan capres dan cawapres telah terpilih sebagai kandidat yang berhak bertarung dalam Pilpres 2009 mendatang. Mereka adalah SBY-Boediono, JK-Wiranto dan Mega-Prabowo. Ada kesamaan yang bisa ditarik benang merahnya mengenai pencalonan mereka, yaitu sama-sama dibangun atas fondasi koalisi partai.

Memang, ada perbedaan menjulang ketika membandingkan cawapres yang dipilih SBY dengan yang lain. Boediono dipiilih tidak berasal dari latar belakang partai. Akan tetapi, SBY-Boediono didukung oleh koalisi PD, PKB, PKS, PPP dan PAN dan ini cukup menjustifikasi bahwa pasangan tersebut tetap berbasiskan koalisi partai.

Kisah akrobatik tentang bagaimana terbentuknya koalisi yang mengusung capres-cawapres tersebut harusnya cukup diungkapkan kemarin. Cukup muak sudah kita membicarakan pasangan-pasangan itu terbentuk tidak berlandaskan pada platform programnya, melainkan hubungan transaksional yang berbasis profit. Alhasil, saat ini alangkah lebih bijak rakyat berfokus pada visi dan misi yang diusung oleh para capres-cawapres tersebut. Visi dan misi lah yang akan lebih berpengaruh dalam menyejahterakan rakyat selama 5 tahun ke depan ketimbang konstruksi koalisi yang hanya menyejahterakan partai-partai politik saja.

Namun berbicara mengenai visi dan misi kandidat, kita tentu perlu berkaca pada pengalaman pemilu legislatif kemarin dimana visi dan misi yang diusung adalah bagian dari pencitraan ‘busuk’ para pesertanya. Visi dan misi kemarin kebanyakan mendendangkan suara penyejahteraan rakyat, tetapi itu seolah hanya menjadi bagian dari politik dagang sapi saja. Ramai-ramai mengusung visi kemakmuran rakyat tetapi visi itu ‘diperkosa’ untuk memuaskan nafsu keterpilihan. Tentu, itu suatu pembohongan terkutuk pada rakyat.

Pengalaman pileg ini lah yang seharusnya kita perhatikan dan jadikan dasar dalam mempersiapkan Pilpres mendatang. Kita wajib sadar bahwa visi dan misi yang diusung bukan semata-mata sebagai balutan pencitraan capres-cawapres kepada calon konstituennya. Orang yang memimpin negeri ini haruslah nyata seorang visioner dan berkredibilitas memimpin rakyat. Ingat, Indonesia adalah sebuah negara besar yang berpopulasi lebih dari 220 juta jiwa. Pemimpin negeri ini harus bisa mengakomodasi segala kepentingan seluruh rakyatnya demi kesejahteraan Indonesia.

Menurut hemat penulis, ketiga pasangan capres-cawapres telah memiliki kapabilitas yang diperlukan untuk memimpin negeri ini. Masing-masing adalah sosok hebat yang telah mumpuni memimpin banyak orang. Selain itu, cukup melegakan bahwa visi dan misi yang diusung para kandidat secara garis besar menawarkan sesuatu yang berbeda-beda.

SBY-Boediono berfokus pada penciptaan pemerintahan yang stabil dan amanah terhadap rakyat. Mega-Prabowo mengusung platform pemerintah yang berbasiskan ekonomi kerakyatan. Dan, JK-Wiranto menjanjikan untuk menjadikan pemerintahan yang cepat, tanggap dan revolusioner dalam penyejahteraan rakyat.

Pilihan tetap ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang berhak menentukan siapa yang paling pantas menduduki kursi RI-1 dan RI-2. Analisis lah visi dan misi yang diusung secara cerdas dan jatuhkan lah pilihan secara bijak kepada pemimpin yang mampu mengantarkan negeri ini ke arah lebih baik. Saatnya rakyat terfokus pada visi-misi yang diusung demi Indonesia yang lebih baik.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang berkabung. Bukan lantaran tak bisa menangkap koruptor, tetapi karena institusi yang setahun terakhir ini bersinar, mendadak meredup sejenak karena tergerogoti dari dalam. Tak tanggung-tanggung, sang ketua komisi, Antasari Azhar (AA) diduga terlibat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Memang ini bukan sebuah kemunduran dalam pemberantasan korupsi, tetapi kasus ini sudah cukup untuk menghantam keras citra baik institusi ini sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi di indonesia.

Ada kekhawatiran kasus pribadi Antasari ini banyak dimanfaatkan para ‘komplotan’ koruptor untuk mengalihkan isu korupsi. Para koruptor itu secara sporadis ramai-ramai ‘berteriak’ bahwa KPK telah cacat karena ketuanya saja tersangkut kasus hukum. Tujuannya adalah menjuruskan masyarakat untuk menurunkan kepercayaannya atas kinerja KPK. Jika dibiarkan berlama-lama, ini sinyal buruk bagi KPK.

Untung saja, pemerintah segera cekatan bertindak atas kasus ini. Presiden SBY belum lama ini langsung menonaktifkan AA sebagai ketua KPK. Tindakan ‘penyelamatan’ ini ternyata berefek bagus bagi kontinuitas pekerjaan KPK. KPK bisa terfokus lagi pada tugas-tugasnya melawan korupsi. Afirmasi ini juga menghilangkan keraguan publik pada konsistensi KPK dalam memberangus korupsi di Indonesia.

Kini, KPK pasca-AA tetaplah sebagai tim yang solid dan kuat. AA hanyalah satu bagian saja, sedangkan KPK adalah aspek yang jauh lebih besar dibandingkan perorangan, sekalipun ia ketuanya. Masih ada empat pimpinan lainnya dan ratusan pegawai di institusi ini yang tetap bersetia berada di garis depan pemberantasan korupsi. Malahan, banyak pihak optimis, KPK tanpa AA akan menjadi lebih ‘garang’ menangkap koruptor karena selama ini AA dipandang batu sandungan dalam penyelesaian perkara korupsi seperti dalam kasus aliran dana BLBI.

KPK baru ini harus secepatnya kembali mengencangkan ikat pinggang untuk memerangi korupsi yang merajalela di negeri ini. Ribuan kasus korupsi yang merugikan negara masih menunggu untuk diungkapkan. Masih banyak kasus penggelapan uang rakyat yang tertunda selama AA menjadi ‘bos’ KPK belum diselesaikan secara tuntas. Dan, masih merebak pula upaya tebang pilih dan nuansa politis dalam pemberantasan korupsi di negeri ini yang menguntungkan koruptor dan segelintir pihak. Wajar, KPK baru ini sangat diharapkan dapat berakselerasi dalam penuntasan perkara-perkara korupsi yang ada.

Era baru KPK yang lebih ‘bermusuhan’ dengan korupsi telah dimulai. Tentu, KPK tak akan bisa berjuang sendirian untuk memberantas korupsi tanpa adanya dukungan berbagai pihak. KPK bukanlah satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab membebaskan Indonesia dari korupsi. Bantuan dari LSM-LSM yang konsen terhadap korupsi sangat dibutuhkan dalam kaitannya sebagai penopang data investigasi kasus-kasus korupsi.

Selain itu, peran serta semua masyarakat selalu dinantikan untuk menyuarakan fakta-fakta korupsi kepada KPK. Tanpa adanya laporan masyarakat, tentu upaya KPK sangatlah minim dibandingkan dengan melimpahnya kasus korupsi di Indonesia. Terakhir, masyarakat pun harus selalu proaktif menghindari tindakan korupsi. Jika semua masyarakat sadar atas korupsi, korupsi pun akan tercerabut dari kultur bangsa ini. Indonesia pun terbebas dari korupsi.

Anggaran!

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 17.28 | , , | 1 komentar »

Membuat sebuah program tak sahih tanpa menyusun anggarannya. Anggaran yang tersusun merupakan perwujudan dari berapa dana yang dibutuhkan untuk membiayai suatu program agar bisa berjalan. Program tanpa anggaran adalah imaji tak terimplementasi. Anggaran adalah katalisator inti terselenggaranya program yang telah dirancang sedemikian rupa oleh penggagasnya untuk mencapai suatu tujuan.

Anggaran bisa juga merupakan kontrol untuk memastikan suatu program terlaksana dengan baik. Program yang baik adalah yang tepat sasaran sesuai tujuannya dengan menggunakan dana yang telah dianggarkan.

Suatu negara, organisasi, perusahaan ataupun kumpulan manusia lainnya yang memiliki tujuan adalah entitas yang memiliki program dan mengimplementasikan programnya itu dengan anggaran sebagai patokannya. Sebaik apapun program yang telah dibuat tapi tanpa dana anggaran yang memadai, hasil yang dicapai tentu tidak akan optimal. Yang terjadi mungkin implementasi program sebatas pada capaian minimumnya. Namun, ada kalanya program mampu terlaksana secara efektif dengan menggunakan dana yang lebih minim dari anggarannya karena program dilaksanakan secara ‘mati-matian’ memampatkan dana yang ada. Atau bisa juga karena anggarannya telah di-markup terlebih dulu sebagai pengantisipasian di awal.

Suatu negara telah lazim mengkorelasikan program dan anggarannya lewat APBN-nya. Setiap tahun selalu disusun RAPBN yang kemudian bisa disahkan menjadi APBN untuk mendanai program-program pemerintah. Program dan anggaran negara dalam APBN merupakan kesatuan yang terintegrasi. Ini sebuah contoh awam sebuah program dan anggaran terkoneksi.

Pun, di dalam organisasi kemahasiswaan yang merupakan wadah para mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan intelektualitasnya di berbagai bidang sesuai minatnya, program dan anggaran adalah ibarat aur dengan tebing, tak terpisahkan. Program-program organisasi bisa terimplementasikan jika ada pula anggaran yang menyertainya. Memang, anggaran untuk organisasi adalah contoh yang sederhana dan mudah jika dibandingkan dengan anggaran negara (APBN) ataupun anggaran korporasi bisnis. Namun, ini sebuah pengejahwantahan dari upaya pembelajaran mahasiswa melalui organisasi itu sehingga tak menuntut program yang rumit ataupun anggaran yang megah.

Bersetia pada landasan pokok organisasi, setiap tahun organisasi kemahasiswaan selalu berganti kepengurusannya dan mungkin pula program-programnya sesuai inisiatif pengurusnya. Kemudian, ini menghasilkan akselerasi bagus dari organisasi kemahasiswaan yang setiap tahun semakin meningkat kuantitas dan kualitas program-programnya. Ini suatu pertanda bahwa fungsi aktualitas diri dan pembelajaran mahasiswa di dalam organisasi kemahasiswaan telah terjadi.

Dalam organisasi kemahasiswaan, anggaran pun menyesuaikan dengan programnya karena programnya dulu yang disusun baru kemudian anggarannya. Secara internal, anggaran memfasilitasi program-program yang ingin dan akan dilakukan oleh pelaku organisasi, yaitu mahasiswa-mahasiwa anggotanya. Secara eksternal, anggaran merupakan pengakuan dari eksistensi bahwa organisasi ‘masih’ ada.

Sumber dana pada anggaran organisasi kemahasiswaan adalah sebagian berasal dari pihak fakultas berupa DPP/SPP dan FOKOMA, dan sebagian lainnya diusahakan secara mandiri oleh pengurus dan anggota organisasi tersebut. Namun, terdapat beberapa organisasi yang menggantungkan sebagian besar pogram kerjanya pada dana fakultas. Ini kemudian menjelaskan bahwa kekuasaan pendanaan sesungguhnya adalah ada pada pihak fakultas dan itu umum terjadi pada setiap organisasi kemahasiswaan tingkat fakultas di manapun berada. Kekuasaan itu bukan berarti sebagai absolutisme ‘perintah’ fakultas pada program kerja organisasi mahasiswa, tetapi pada kuasa penggelontoran dana.

Dalam kaidah DPP/SPP, anggaran yang dibuat tidak terbatas pada kuota, tetapi disesuaikan dengan besaran wajar biaya yang dibutuhkan organisasi untuk menjalankan program-programnya secara berkualitas. Sebaliknya, dalam kaidah FOKOMA, dana yang didapat setiap organisasi berbasiskan pada analisis kelayakan suatu program untuk didanai oleh dana FOKOMA. Pembagian dua sumber dana itu telah dibahas beberapa bulan yang lalu dan semua organisasi telah mendapat bagiannya tersendiri.

Sayangnya, beberapa waktu lalu, sebuah berita tak menggembirakan datang pada semua organisasi mahasiswa. Dana DPP/SPP disunat oleh fakultas! Ini bak halilintar di siang bolong karena sebelumnya telah disanggupi dan tidak ada indikasi yang mengarah pada pemotongan dana DPP/SPP. Penulis, yang diamanahkan sebagai pemimpin di suatu lembaga khusus (LK) pun terkejut dan harus memutar otak untuk memperlakukan masalah ini. Penyesuaian pun harus dilakukan pada internal organisasi menghadapi ‘absolutisme’ pemotongan anggaran ini. Beberapa pos pun anggarannya harus terkorbankan sebagai tumbal atas ketidakkuasanya organisasi mahasiswa mencegah pemotongan anggaran. Saya rasa semua insan organisasi kemahasiswaan pun kelabakan dan kecewa menghadapi ‘sunatan massal’ ini.

Tak berdayanya kuasa atas dana memang potret organisasi mahasiswa yang tak mungkin bisa mandiri dalam segi dana. Andaikan pun bisa mandiri sendiri, ini bukan sebagai berita yang membanggakan bagi sebuah organisasi kemahasiswaan. Masalah legitimasi atas organisasi menjadi akar pokok organisasi tidak berdaya dalam hal kemandirian. Anggaran dari dana fakultas adalah instrumen dari legitimasi. Organisasi kemahsiswaan yang terlegitimasi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM adalah organisasi yang mendapat suntikan dana DPP/SPP dari pihak fakultas.

Sebenarnya, pemotongan ini dapat saja dihindari jika pada waktu awal penyusunan anggaran, pihak fakultas telah menetapkan besar kemampuannya dalam penyediaan DPP/SPP untuk organisasi kemahasiswaan. Komunikasi dengan semua organisasi kemahasiswaaan juga harus terbuka luas dan transparan tidak sebatas pada perwakilan mahasiswa saja, misalkan publikasi RKAT di website. Selain itu, persepsi yang salah atas organisasi kemahasiswaan dan kegiatan kemahasiswaan juga harusnya dihindari oleh dekanat yang baru. Kegiatan kemahsiswaan tidak identik dengan kegiatan organisasi kemahsiswaan karena bisa saja mahasiswa yang tak tergabung dalam organisasi kemahasiswaan melakukan kegiatannya dengan mengatasnamakan FEB. Jika itu dipenuhi, seharusnya tak akan terjadi miskomunikasi terkait anggaran seperti ini yang mengganggu program-program organisasi kemahasiswaan.

Sejumput Cerita Jurnalisme Warga

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 18.09 | , , | 2 komentar »

Tak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi berefek gigantik pada bagaimana suatu berita timbul dan menyebar dari satu pihak kepada pihak lain. Masyarakat di suatu tempat mampu secara cepat dan tepat mendapatkan informasi dari masyarakat lain sekalipun terpisah jarak yang jauh. Pun, suatu masyarakat dapat dengan cekatan menyebarkan informasi dalam hitungan detik berdiaspora ke seluruh dunia. Kenyataan ini semakin ‘menggila’ apalagi setelah akses internet bisa dengan mudah dan murah kita peroleh.

Perubahan fenomenal ini memproduksi perubahan pula pada bidang jurnalistik. Lompatan besar pada bidang informasi melahirkan percabangan baru pada jurnalisme. Adalah jurnalisme warga atau citizen journalism yang menjadi ranting baru pada pohon jurnalisme sebagai resultan dari kemajuan informasi. Sesuai dengan namanya, jurnalisme warga adalah jurnalisme yang timbul karena inisiasi aktif dari warga masyarakat. Menurut Shayne Bowman dan Chris Willis, jurnalisme warga adalah kegiatan atau tindakan warga memainkan peran aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisis dan penyebaran berita dan informasi.

Salah satu ide awal jurnalisme warga adalah setiap orang tanpa latar belakang jurnalistik pun mampu menyampaikan fakta berita kepada khalayak ramai. Ini berangkat dari kenyataan seorang wartawan yang tidak selalu dapat hadir dan berkemungkinan telat dalam sebuah momen peristiwa, kecuali ia partisipan, ketimbang warga yang melihat dan merasakannya secara langsung. Di sini, warga yang merasakan momen secara langsung pasti lebih cepat dan akurat menjadi pewarta informasi dibanding wartawan yang mungkin mengutip dari sumber pelaku kejadian atau mendapat informasi belakangan. Seperti halnya hakikat informasi, semakin cepat informasi diungkapkan, semakin tinggi nilai informasi tersebut untuk diterima khalayak luas.

Tak ada yang sangsi ketika kasus teror bom Mumbay, India beberapa tahun lalu bisa tersebar secara cepat ke seluruh dunia dalam hitungan kurang dari sepuluh menit. Ini berkat informasi yang berpokok dari jurnalisme warga. Ada seorang profesor Harvard yang dengan cepat menginformasikan perristiwa terorisme ke masyarakat luas lewat tulisan di blog pribadinya, sesaat setelah teroris menyerang dan menguasai hotel tempat ia berada saat itu. Wartawan dan jurnalis mainstream baru datang berjeda 1 jam kemudian. Hebatnya, profesor itu yang juga sebagai sandera teroris, memberitakan secara real-time tentang bagaimana kondisi yang dialaminya dari dalam hotel itu. Wartawan domestik dan internasional yang datang langsung ke tempat kejadian hanya dapat memberitakan dari luar gedung dan dari jarak yang cukup jauh karena terblokade polisi.

Tak bisa dipungkiri, jurnalisme warga kini tumbuh bak cendawan di musim hujan beriringan dengan semakin luasnya jaringan internet ke seluruh penjuru dunia. Peralatan dan gadget yang mempermudah dan mempercepat koneksi seseorang dengan internet dimanapun dan kapanpun ia berada kian hari kian variatif dan canggih. Arus komunikasi dan informasi pun menjadi tak berjarak dan berjeda lagi. Secara otomatis, pun jurnalisme warga bergerak dan berakselerasi dengan percepatan luar biasa. Semua orang telah secara bebas mewartakan apa yang dialaminya, disukainya, dibencinya maupun diinginkannya kepada publik.

Tak ayal, kontroversi atas jurnalisme warga, terutama atas kesahihan informasi yang diwartakan, menjadi bahan perbincangan serius yang menyeruak pada kalangan jurnalis profesional. Jurnalis beranggapan bahwa kaidah dalam penginformasian berita yang baik dan benar harus sesuai dengan teknik dan kode etik reportase berita. Ini lah yang tidak bisa dipenuhi oleh setiap jurnalis warga. Tentunya, kredibilitas berita yang buruk dari jurnalisme warga dapat merusak citra jurnalistik secara keseluruhan yang selama ini telah dibangun para jurnalis profesional.

Selain itu, jurnalisme warga rawan sekali dimanfaatkan sebagai cara untuk memfitnah ataupun mendiskreditkan pihak lain secara tidak bertanggung jawab. Atau juga bisa merupakan pencitraan fiktif yang berlebihan kepada atau oleh suatu pihak dengan bertopeng maksud tertentu . Kerentanan ini menjadikan jurnalisme warga identik dengan ketidaksesuaian dengan fakta yang terjadi dan tindakan yang manipulatif. Akhirnya, ini mendorong banyak pihak berdebat untuk merumuskan kembali apa itu jurnalisme warga.

Namun, menurut hemat penulis, jurnalisme warga tetaplah sebagai langkah positif dalam bidang jurnalistik. Kontroversi yang ada bisa dieliminasi dengan melakukan cross-check dengan berita-berita yang mengangkat isu terkait. Biasanya dalam jurnalisme warga, tak hanya seseorang yang mewartakan suatu peristiwa. Inilah yang bisa menjadi check and balance dari suatu berita yang dihasilkan dari jurnalisme warga. Ketidakbenaran berita dapat dicegah dengan melandasi pada berita yang telah terverifikasi oleh pewarta lainnya.

Jurnalisme warga berpeluang luas untuk tumbuh subur di semua kalangan. Konsep yang mudah, bebas dan fleksibel menstimulus setiap orang memberitakan apa yang ia lihat, alami, rasakan dan inginkan. Timbul lah tulisan-tulisan warga berbasiskan jurnalisme warga pada websites maupun blog pribadinya. Kini menjadi semacam kegandrungan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam ranah jurnalisme warga pada blog atau website pribadinya, tidak ‘melulu’ bercerita berupa curahan hati saja. Bagusnya, informasi yang diutarakan pun memiliki kekuatan yang informatif bagi khalayak ramai selayaknya informasi dari media mainstream .

Kemudian lahirlah berbagai media yang memfasilitasi jurnalisme warga. Situs ohmynews.com dari Korea Selatan merupakan situs terbesar dan terkenal yang memfasilitasi besarnya kekuatan dari jurnalisme warga ini. Situs tersebut hidup dari tulisan-tulisan kontributor bebas yang menyebar tak terikat dari seluruh penjuru dunia. Pun, jurnalisme warga telah berhasil ‘memaksa’ media mainstream untuk memasukkan jurnalisme warga sebagai bagian dari hegemoninya dalam pemberitaan informasi. Contohnya, KOMPAS menyediakan ruang luas bagi jurnalisme warga dengan porsi khusus di situsnya. Begitu juga dengan media-media lainnya, baik dalam negeri seperti Media Indonesia.com maupun internasional seperti CNN dengan iReport.org, yang telah ‘terbuka’ dengan jurnalisme warga walaupun masih terbatas.

Sekarang kaitannya dengan mahasiswa, akselerasi jurnalisme warga pun mestinya tak bisa menafikan terhadap eksistensi mahasiswa. Jurnalisme warga adalah bejana dan jalan untuk semangat dan harapan baru atas intelektualitas yang selama ini kuat melekat pada diri mahasiswa. Jurnalisme warga juga memberikan peluang atas sarana mahasiswa untuk berinteraksi dalam realita. Kenyataan ini tak terlepas sebagai buah ‘dukungan’ dari kampus dengan fasilitas-fasilitasnya yang sarat dengan teknologi informasi. Akses yang luar biasa terhadap internet di lingkungan kampus tentu sangat berguna demi mendukung setiap mahasiswa untuk ikut serta dalam jurnalisme warga.

Tidak ada alasan yang memberatkan lagi bagi mahasiswa untuk mengekspresikan keintelektualitasnya dalam ranah maya. Kini tidak zamannya lagi mahasiswa hanya menjadi konsumen informasi, tetapi kini wajib berposisi sebagai produsen informasi. Jurnalisme warga dalam tatanan mahasiswa layak sekali untuk dilaksanakan karena pula sebagai senjata untuk menerobos celah-celah pengekangan penguasa. Jurnalisme warga di dunia maya merupakan ruang yang sangat terbuka bagi mahasiswa untuk tetap bersetia dengan nalar kritisnya dalam mencermati segala fakta. Kita pun sebagai mahasiswa tak percuma lagi diperdaya oleh informasi, yaitu dengan menjadi partisipan aktif dalam jurnalisme warga. Mau kah mahasiswa aktif berjurnalisme warga?

Bukan Sekedar Sekolah Gratis

Diposting oleh Iqbal Kautsar | 18.02 | , , | 0 komentar »

Seperti lazimnya kebiasaan bangsa ini yang jago mengaitkan suatu momen dengan problem, sekarang pun dijadikan sebagai momentum paling tepat untuk membicarakan masalah-masalah pendidikan di negeri ini, ‘mumpung’ bertepatan dengan euforia Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei lalu. Apalagi kian menarik, jika ranah pendidikan dikoneksikan dengan dunia politik yang sedang panas-panasnya bergulir isu koalisi parpol untuk mengusung capres dan cawapresnya. Akhirnya, benang merah yang dapat ditarik adalah mengenai apa visi-misi capres dan cawapres dalam bidang pendidikan.

Namun, pertanyaannya kini adalah adakah capres dan cawapres yang telah bergelora mengusung peningkatan kualitas pendidikan Indonesia dalam lembar visi-misinya? Menurut pendapat penulis pribadi, jawabannya adalah belum ada. Ironis tentunya ketika upaya masyarakat yang tak kenal menyerah menuntut perbaikan kualitas pendidikan nasional ternyata tidak digubris oleh parpol ‘wakil’ mereka.

Penulis pun beretorika tidak diacuhkannya isu pendidikan adalah karena para elit parpol egois lebih sibuk sendiri-sendiri membangun koalisi demi maju ke Pilpres Juli nanti. Baik Blok S, Blok J, Blok M maupun blok-blok lainnya belum dan mungkin saja tidak membahas isu rendahnya kualitas pendidikan karena egoisme politik-sentrisme mereka.

Pun, mungkin sama saja, kalaupun pasangan capres dan cawapres sudah terbentuk dan kemudian menyuarakan perbaikan pendidikan Indonesia, sepertinya masyarakat sudah paham dan memprediksikan tidak akan ada wacana dan gagasan baru terkait pendidikan Indonesia. Mereka mungkin hanya mengobral janji-janji mengenai bagaimana menghabiskan dana 20% APBN tanpa bervisi menjadikan pendidikan Indonesia maju dan berdaya saing pada percaturan global. Yang timbul kemudian adalah apatisme masyarakat dalam mencermati visi-misi pendidikan oleh capres. Itu percuma saja tentunya.

Bukannya pesimis bahwa pendidikan negeri ini tidak bisa beranjak dari keterpurukkan, tetapi dilihat dari tendensi bahwa semua kandidat akan memprioritaskan program gratis pendidikan dasar tanpa memperhitungkan peningkatan kualitasnya, mungkin wajah pendidikan kita tetaplah stagnan tanpa berakselerasi. Capres dan cawapres kita masih bisu untuk membuat sistem pendidikan yang berkualitas tinggi sekaligus terjangkau.

Alokasi 20% dana APBN 2009 sebesar Rp 224 triliun masih berupa hanya sebatas penjelmaan penetapan janji konstitusi. Tak ada program nyata untuk membuat pendidikan yang mencerdaskan dan memerdekakan rakyat dari penderitaan. Yang ada malahan pendidikan yang dikomoditaskan selayaknya barang yang dijual di pasar. Akibatnya pendidikan pun mahal dan pendidikan yang berkualitas pun masih sangat jauh dari jangkauan masyarakat marjinal seperti: petani, buruh kasar, nelayan, dan tenaga kerja lain yang berpenghasilan rendah.

Oleh karena itu, yang wajib diingat oleh para capres dan cawapres dalam mengusung visi-misinya adalah pendidikan merupakan media terpenting untuk membawa bangsa ini menjadi digdaya dan sejahtera. Program-program pendidikan yang diangkat pun harusnya tidak lagi hanya sekedar pemenuhan sekolah gratis. Namun, menciptakan pendidikan terjangkau, beruntung gratis, dengan berorientasi pada peningkatan kualitas adalah hal yang terpenting untuk kemajuan pendidikan kita.